Kapan Kamu Nikah?

"Kapan kamu nikah?" tanya Chamid temenku beberapa bulan yang lalu.

"Setelah kamu," jawabku cuek.

"Insyaallah kalau kontrak ini selesai aku mau pulang nikah. Tapi kemudian balik sini lagi, kerja lagi 2 tahun lagi," kata Chamid sambil mendesah.

"Orang sudah nikah kok ditinggal," kataku.

"Habis mau gimana lagi, lha wong belum ada celengan. Kamu khan tahu aku nyekolahin adikku, dua masih kecil-kecil, sedangkan adik lakiku yang besar, kemarin baru saja nikah.
Hhhh....kecelakaan," kata Chamid mendesah.

Kecelakaan, pikirku. Aku tahu di desa-desa semboyan seperti LKMD amatlah wajar adanya. Bukan lantaran semboyan tersebut begitu merakyat melainkan karena semboyan tersebut akrab dengan kehidupan yang serba simple tapi grusa-grusu. Ups! LKMD yang saya maksud adalah Lamaran Keri Meteng Dhisik (lamaran belakangan hamil duluan).

Dan hari ini tepatnya tgl 3 April sebelum bertolaknya Cathay Pasific menuju Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Chamid masih sempat bertanya padaku lewat telepon, "SLI(nama panggilan akrabku olehnya), SLI kapan nikah?"

Aku tersenyum. Pikirku, ah itu pertanyaan yang lumrah yang gampang saja aku jawab dengan: kapan-kapan atau kalau sudah ketemu jodoh atau kalau sudah sampai waktunya atau cukup dengan tertawa hingga nampak ke-32 buah gigi-gigiku yang kakakku bilang miji waluh (besar-besar dan tak beraturan).

Namun di hari ini, di hari yang sama dan dengan pertanyaan yang sama pula, aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kapan-kapan atau kalau sudah ketemu jodoh atau kalau sudah sampai waktunya atau tertawa hingga nampak ke-32 buah gigi-gigiku, karena sang penanyanya adalah bapak. Seorang yang tidak pernah menyinggung sedikitpun kepadaku tentang hal itu, seseorang yang membebaskan aku untuk memilih dan mengamini semua keputusan yang aku tetapkan.

Entahlah, kalau terjadi maka terjadilah. Aku tak hendak memaksa diriku dengan menyumpali pemikiranku tentang  akan ada atau tidaknya seseorang dalam hidupku di kemudian hari. Bukan lantaran keputusasaan namun ada banyak hal yang sama nilai atau bahkan jauh lebih tinggi nilainya ketimbang hanya memikirkan hal itu dan menjadi priorritasku untuk saat ini.

Bapak, maafkan anakmu ini yang tidak bisa menjawab pertanyaan dan harapanmu. Maafkan atas keputusanku ini. Pak, dua bulan lagi anakmu ini akan pulang, tunggu aku dengan senyummu yang dulu. Yang sehat ya pak. Love you pak...so very much.

0 comments :

Posting Komentar

Matur suwun wis gelem melu umuk...